Senin, 22 Februari 2010

Catatan Hujan 2

hujan pun turun dengan rinainya
di halaman rumahmu itu
apa jadinya tanpa sebab tanpa alamat?

harapan yang kautanam mulai berbunga
kau bahkan masih bisa membaui
aroma semesta yang lembap
seperti kau masih bisa melihat
titik-titik air di dedaunan itu Read More..

Catatan Hujan 1

antara langit dan bumi
Tuhan mencipta tanpa perantara

titik-titik air hujan di dedaunan itu
semisal jejak untuk kaubaui
seberapa kasih Tuhan
yang tak kunjung habis kauhitung

antara langit dan bumi, memang
Tuhan mencipta tanpa perantara Read More..

Jumat, 05 Februari 2010

Wawacan Sukma Jati: Edisi Dua Bahasa (Sunda & Indonesia)


Cerita yang tersaji dalam buku ini kami ambil dari sebuah naskah kuno dengan judul Wawacan Sukma Jati yang ditulis oleh Aminta pada tahun 1939. Naskah kuno adalah tulisan tangan yang umurnya sudah lebih dari lima puluh tahun. Naskah kuno ini kami temukan dari Desa Salakaria, Kecamatan Rancah, Kabupaten Ciamis.

Cerita dari naskah kuno ini sebelumnya kami transliterasi (alih aksara) terlebih dahulu dari aksara Pegon (aksara Arab berbahasa Sunda) ke dalam aksara Latin. Hasil dari transliterasi ini kemudian diedisi dengan menggunakan metode Filologi. Filologi adalah disiplin ilmu tentang naskah kuno dan teks (isi) yang terkandung di dalamnya. Terakhir, cerita yang telah diedisi ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Cerita ini ditulis dalam bentuk wawacan. Wawacan adalah karya sastra puisi yang naratif (bersifat cerita). Bentuk-bentuk puisi dalam wawacan disebut dengan pupuh, seperti pupuh Asmarandana, Kinanti, Sinom, Dangdanggula, dll. yang jumlah semuanya ada 17 macam pupuh. Pupuh adalah bentuk-bentuk puisi yang terikat oleh aturan, seperti guru gatra, guru wilangan, guru lagu, dan watek. Guru gatra adalah jumlah padalisan (larik/baris) dalam setiap pada (bait). Guru wilangan adalah jumlah engang (suku kata) dalam setiap padalisan. Guru lagu adalah bunyi vokal akhir setiap padalisan. Sedangkan watek adalah karakter setiap pupuh, seperti pupuh Asmarandana yang berkarakter kasih sayang. Selain mempunyai aturan tertentu, pupuh pun bisa dinyanyikan dengan beberapa macam lagu yang berbeda.

Wawacan Sukma Jati di dalamnya menceritakan tentang tokoh Semar yang berubah wujud menjadi Sukma Jati, seorang kesatria yang gagah dan tampan. Asal mulanya ialah karena ulah Astina yang ketika itu sedang dilanda wabah penyakit dan jalan keluarnya ialah harus memenggal kepala Semar sebagai tumbal negara. Dengan bantuan Pendawa, yaitu majikan Semar dan anak-anaknya, akhirnya Astina berhasil menangkap dan membawa Semar untuk dipenggal. Namun dengan bantuan Dewa, Semar pun bisa meloloskan diri. Karena sakit hati atas perlakuan dari Astina dan Pendawa, Semar berniat hendak membalas dendam. Untuk menjalankan niatnya itu Semar pun berubah wujud jadi Sukma Jati. Demikian juga dengan anak-anaknya, Cepot dan Dewala, berubah wujud jadi Sukma Raga dan Sukma Wisesa. Di akhir cerita, mereka bertiga pun kembali lagi ke asal setelah Kresna memanah mereka dengan panah Cakra Agung.

Demikian sekelumit mengenai buku ini. Terima kasih kami ucapkan kepada keluarga Bapak Aminta yang telah meminjamkan naskah warisan leluhurnya kepada kami. Terima kasih juga kami ucapkan kepada penerbit Nuansa Aulia yang telah berkenan menerbitkan buku ini, tanpa peranannya buku ini tidak mungkin bisa menyapa pembaca semuanya.

Akhirulkalam, buku ini kami persembahkan untuk pembaca semuanya. Kritik dan saran demi perbaikan buku ini selanjutnya sangat kami nantikan. Cag!

Selengkapnya , silakan download di sini
Read More..

Rabu, 03 Februari 2010

Panduan Baca Tulis Aksara Sunda


Aksara Sunda pada masa silam terdokumentasikan dalam bentuk prasasti-prasasti, piagam-piagam, dan naskah-naskah kuno yang ditulis pada batu-batu, lempengan-lempengan logam, dan aneka bahan naskah seperti daun lontar, daun nipah, kertas, dan lainnya. Sebagai contoh, prasasti-prasasti Kawali di Ciamis dan prasasti Batutulis di Bogor ditulis menggunakan aksara Sunda; piagam Kebantenan di Bekasi pun ditulis menggunakan aksara Sunda; sedangkan naskah-naskah Sunda kuno yang ditulis menggunakan aksara Sunda di antaranya yang terkenal ialah Sanghyang Siksakanda Ng Karesian, Carita Parahyangan, Kisah Bujanggamanik, dan lainnya.

Aksara Sunda yang digunakan pada waktu itu lebih dikenal dengan sebutan aksara Sunda kuno, aksara Ratu Pakuan, atau juga aksara Kaganga. Disebut aksara Sunda kuno, secara sederhana, karena sebagai pembeda dengan aksara Sunda yang sekarang ini telah distandardisasi sekaligus sudah diresmikan penggunaannya untuk kepentingan masyarakat banyak. Adapun sebutan aksara Ratu Pakuan oleh karena terdapat naskah Sunda kuno dengan judul naskah Carita Ratu Pakuan yang ditulis menggunakan aksara Sunda kuno. Sedangkan sebutan aksara Kaganga oleh karena abjad aksara Sunda kuno dimulai dari aksara ngalagena /ka/, /ga/, dan /nga/. Dalam buku ini yang dimaksud dengan aksara Sunda adalah aksara Sunda kuno yang telah distandardisasi sistem tata tulisnya sesuai dengan perkembangan bahasa Sunda yang digunakan oleh masyarakat Sunda sekarang ini dan sekaligus sudah diresmikan penggunaannya oleh pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk kepentingan masyarakat banyak.

Umumnya aksara Sunda pada waktu itu merupakan alat untuk merekam bahasa Sunda kuno, tetapi sekarang ini aksara Sunda diberdayakan fungsinya sebagai alat untuk merekam bahasa Sunda yang kita gunakan sehari-hari. Salah satu alat tulis yang digunakan pada waktu itu ialah péso pangot. Alat tulis ini biasanya digunakan untuk menuliskan aksara Sunda kuno di atas permukaan daun lontar dengan cara mengeratkan bagian ujung pisaunya yang tajam. Dewasa kini, telah tersedia alat dan bahan untuk menuliskan aksara Sunda dengan lengkap dan modern. Salah satu di antaranya yang sudah familiar dengan kita ialah komputer. Pada Bab IV berikutnya akan dipandu bagaimana cara menuliskan aksara Sunda menggunakan perangkat komputer.
Cara penulisan aksara Sunda dimulai dari kiri ke kanan sama halnya dengan sistem tata tulis aksara Latin. Namun demikian, sehubungan dengan aksara Sunda yang kita gunakan sekarang ini merupakan aksara Sunda yang telah distandardisasi, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam cara penulisan aksara Sunda dewasa kini. Aksara Sunda pada prasasti-prasasti, piagam-piagam, dan naskah-naskah Sunda kuno ditulis secara sambung-menyambung (scriptio continua), yang artinya tidak ada pembagian satuan semantik (makna) dalam tulisan, baik itu pembagian satuan kata dan/atau kalimat. Supaya memudahkan dalam pembacaan aksara Sunda, maka dalam penulisan aksara Sunda sekarang ini diadakan pembagian satuan semantik. Di samping itu, sistem ejaan bahasa Sunda dalam aksara Sunda, sesuai dengan kebutuhannya, mengikuti sistem ejaan bahasa Sunda dalam aksara Latin yang berlaku sekarang ini.

Aksara Sunda berjumlah 30 buah aksara yang terdiri dari 7 buah aksara swara ‘vokal’ (a, é, i, o, u, e, dan eu) dan 23 buah aksara ngalagena ‘konsonan bervokal /a/’ (ka, ga, nga, ca, ja, nya, ta, da, na, pa, ba, ma, ya, ra, la, wa, sa, ha, fa, va, qa, xa, dan za). Aksara swara adalah aksara yang melambangkan bunyi vokal secara mandiri sebagai sebuah suku kata yang bisa menempati posisi awal, tengah, maupun akhir sebuah kata. Sedangkan aksara ngalagena adalah aksara yang melambangkan bunyi konsonan secara silabis, yaitu bunyi konsonan diikuti bunyi vokal /a/, sebagai sebuah kata maupun suku kata yang bisa menempati posisi awal, tengah, maupun akhir sebuah kata.

Sebenarnya aksara ngalagena dalam sistem tata tulis aksara Sunda kuno berjumlah 18 buah aksara. Namun, dalam upaya memenuhi fungsi aksara Sunda sebagai alat rekam bahasa Sunda dewasa kini, para pakar paleografi (ilmu tentang aksara kuno) dan filologi (ilmu tentang naskah kuno) Sunda sepakat menambahkan 5 buah lambang aksara ke dalam sistem tata tulis aksara Sunda yang telah distandardisasi, sehingga jumlah semuanya menjadi 23 buah aksara. Kelima buah lambang aksara tersebut diambil dengan cara mengaktifkan beberapa varian lambang aksara Sunda kuno yang intensitas kemunculannya tidak begitu tinggi. Lambang aksara fa dan va merupakan varian lambang aksara pa; lambang aksara qa dan xa merupakan varian lambang aksara ka; lambang aksara za merupakan varian lambang aksara ja.

Dalam sistem tata tulis aksara Sunda dikenal adanya rarangkén ‘tanda bunyi’ yang berfungsi untuk mengubah dan menghilangkan bunyi vokal /a/ pada aksara ngalagena, maupun menambahkan bunyi-bunyi konsonan pada aksara swara dan/atau aksara ngalagena. Rarangkén tersebut berjumlah 13 buah lambang rarangkén yang terbagi ke dalam tiga kelompok. Kelompok pertama, sebanyak 5 buah lambang yang ditempatkan di atas aksara swara dan/atau aksara ngalagena. Kelompok kedua, sebanyak 3 buah lambang yang ditempatkan di bawah aksara ngalagena. Kelompok ketiga, sebanyak 5 buah lambang yang ditempatkan sejajar dengan aksara swara dan/atau aksara ngalagena: 1 buah lambang ditempatkan di sebelah kiri aksara ngalagena, 2 buah lambang ditempatkan di sebelah kanan aksara swara dan/atau aksara ngalagena, dan sebanyak 2 buah lambang lagi ditempatkan di sebelah kanan dengan sedikit menjulur ke bagian bawah aksara ngalagena. Di samping itu, dilengkapi juga dengan lambang-lambang bilangan mulai dari angka nol sampai dengan angka sembilan.

Ukuran fisik aksara Sunda dapat ditulis pada posisi kemiringan antara 450-750. Perbandingan ukuran fisik aksara swara dan aksara ngalagena pada umumnya ditulis 4:4, kecuali untuk aksara swara /i/ dan aksara ngalagena /ra/ adalah 4:3; untuk aksara ngalagena /ba/ dan /nya/ adalah 4:6. Sedangkan perbandingan ukuran fisik rarangkén pada umumnya ditulis 2:2, kecuali untuk panyecek /+ng/ adalah 1:1; panglayar /+r/ adalah 2:3; panyakra /+r+/ adalah 2:4; pamaéh /Ø/ adalah 4:2; dan pamingkal /+y+/ adalah 2:4 (bawah) dan 3:2 (samping kanan). Perbandingan ukuran fisik lambang-lambang bilangan pada umumnya ditulis 4:4, kecuali untuk angka /4/ dan /5/ adalah 4:3.

Selengkapnya, silakan download di sini
Read More..